MANUSIA DAN KEADILAN
Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan
manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah antara kedua ujung ekstrem
yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem ini menyangkut dua
orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran
yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau
hasil yang sama, kalau tidak sama, maka masing – masing orang akan menerima
bagian yang tidak sama, sedangkan pelangggaran terjadap proporsi tersebut
disebut tidak adil.
Seperti pancasila yang bermaksud keadilan sosial adalah
langkah yang menetukan untuk melaksanakan Indonesia yang adil dan makmur.
Setiap manusia berhak untuk mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya sesuai
dengan kebijakannya masing-masing.
Wujud keadilan sosial yang diperinci dalam perbuatan dan
sikap:
Dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
manusia Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama untuk untuk menciptakan
keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Selanjutnya untuk mewujudkan keadilan sosial itu, diperinci
perbuatan dan sikap yang perlu dipupuk, yakni :
1. Perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotongroyongan.
2. Sikap adil terhadap sesama, menjaga keseimbangan antara
hak dan kewajiban serta menghormati hak-hak orang lain.
3. Sikap suka memberi pertolongan kepada orang yang
memerlukan
4. Sikap suka bekerja keras.
5. Sikap menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat
untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Asas yang menuju dan terciptanya keadilan sosial itu akan
dituangkan dalam berbagai langkah dan kegiatan, antara lain melalui delapan
jalur pemerataan yaitu :
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak
khususnya pangan, sandang dan perumahan.
2. Pemerataan memperoleh
pendidikan dan pelayanan kesehatan.
3. Pemerataan pembagian
pendapatan.
4. Pemerataan kesempatan
kerja.
5. Pemerataan kesempatan
berusaha.
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi
dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita.
7. Pemerataan penyebaran
pembangunan di seluruh wilayah tanah air.
8. Pemerataan kesempatan
memperoleh keadilan.
Pasutri mencuri pisang karena kelaparan, dituntut 7 tahun
penjara.
Pasutri Supriyono, 19, dan Sulastri, 19, terdakwa pencurian
setandan pisang divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Bojonegoro Jawa Timur
3,5 bulan pada Februari 2010. Peristiwa diatas terjadi saat suami istri
tersebut, karena merasa tidak punya makanan di rumah yang bisa dimakan, mereka
berboncengan motor mau mencari hutangan uang untuk membeli makanan, saat
melewati pekarangan tetangganya tergiur untuk mengambil setandan pisang dan
sialnya ketahuan oleh tetangganya tersebut, yang kemudian melaporkannya ke
kepolisian.
Kasus ini menjadi kontroversi di daerah Bojonegoro, karena
hanya pencurian barang seharga tidak lebih dari Rp 5000,- si terdakwa diproses
ke meja hijau. Padahal banyak sekali kasus-kasus besar yang melibatkan uang
milyaran rupiah dan kebetulan pelakunya adalah para pejabat tidak
ditindaklanjuti dengan serius oleh aparat penegak hukum. Atau kalau ditindak
lanjuti, itu hanya kosmetik saja, misalnya kasus yang melibatkan mantan ketua
DPRD Bojonegoro, walau ditindak lanjuti tapi para tersangka tidak dikenai
penahanan.
Dalam kasus ini, sebenarnya bisakah kepolisian ataupun
kejaksaaan melepas si terdakwa, karena alasan kemanusiaan dan kecilnya barang
yang dicuri? Karena kalau melihat dari aspek keadilan sungguh ironis sekali
hanya mencuri setandan pisang, hukumannya 3,5 bulan.
Pantaskah pasurtri ini diganjar penjara hanya karena mencuri
setandan pisang? tuntutan awal untuk mereka adalah 7 tahun penjara, hanya
karena mencuri setandan pisang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar